Senin, 16 Maret 2015

0 Manusia Lumut


Manusia-manusia lumut yang merangkak dibalik pohon, bersembunyi sunyi dari berkas-berkas sinar. Dengan sekedar diam dan melihat ke depan, ia tau segala bentuk apa-apa maupun perihal yang terjadi dibelakangnya walau hanya sepintas bayangan yang kerap kabur jika tak cukup sinar. Dan juga semakin hari ia semakin akrab dengan bayangan-bayangan itu, tak lain adalah kenangan masa lalu.
Manusia-manusia lumut masih tak mampu beranjak dari kenyamanan balik pohon, hangat dan sejuk tampaknya. Hingga tanpa sadar perlahan pohon untuk tempatnya berpijak kian senja, sempat angin dan hujan menggugurkan daun dan tunas-tunas yang masih pagi. Sedang dalam keadaan yang sama manusia lumut terlena dengan nyamannya kesedihan bernama segala masa lalu.
Dan pada akhirnya sisi demi sisi mengering dan kadang terbakar oleh terangnya sinar. Semakin terbakar dan sakit siksaan penuh terang ini, namun ia tetap setia nyaman dengan tusukan-tusukan masa lalunya yang mungkin jauh lebih kejam mematikan. Dan juga pada akhirnya ia lebih membela kepunahan dengan segala rasa sakitnya.
Dan untuk terakhir kalinya ia sempat menuliskan surat di atas selembar daun kering, di atas sisa tanda pernah ada sebuah pohon yang pernah membela hidupnya. Tak cukup tinta–tinta hujan untuk menuliskan dengan jelas pesan terakhir itu, dan dengan tinta air mata ia melengkapi sedikit tulisannya.

Untuk pohon rumahku, yang tak pernah kulihat adanya
Terimakasih, namun maaf
Perihal trimakasihku, atas segalamu tanpa bosan berdiri kokoh selamaku berdiam, atas segala sabarmu menyembunyikankanku dari pucuk-pucuk terang. Namun adamu tak pernah mampu menyembunyikanku dari belati kenangan apalagi merelakan. Karena diammu membuatku nyaman dengan terlalu atas semua tentang apa-apa yang menyakitkanku-sebenarnya. Lebih belajarlah tentang kesebenaran kebaikanku. Menyuruhku peka adalah ibarat menyuruhmu berpikir sesuai logika.
Perihal maafku, atas segalaku yang kurang terlalu mengindahkan dalam keadaan dan waktu yang kian mengikismu.

Senin, 23 Februari 2015

0 Antara Aku, Kau dan Keegoisan

Memang sulit jika harus diakhiri secepat ini, asal kau tau keputusanku ini demi kebaikanmu (mungkin juga kebaikan kita). Tapi yang jelas kali ini bukan dari keegoisan ataupun kemunafikan. Banyak malam tiap hari hingga menyentuh minggu bahkan bulan untuk mencerna dengan hati-hati dan mengemas seringkas mungkin buah keputusan ini. Yang ku tau kau nantinya muram setelah mendengar apa yang sebenarnya berat kuinginkan. Mungkin kau juga berpura-pura tegar, dengan tertutup senyum kebohongan yang sudah lama kau pelajari hingga fasih untuk mengelabuhi setiap orang yang mencoba cemas-prihatin dari keterpurukan yang sebenarnya kau timpa.

Aku selalu membayangkan keadaanmu setelahnya, setelah aku membuka mulut tentang semua keputusan angan munafikku. Kau akan pulang dari tempat biasa kita bertukar angan dan rindu, tempat dimana kita merawat sedikit ikan hias yang tak pernah bosan kau memandang dan slalu tersenyum padanya. Kini kau akan pulang ke tempatmu yang dulu, tempat dimana kita belum bertukar nama dan rasa, duduk di pojok ruang gelap 3x3 dengan kepala tertunduk, kau menangis dengan ribuan peluh resah kesal, umpatan dan benci yang mungkin ingin kau tusukkan bersamaan pada sisa bayanganku yang semakin sunyi. Kau yang awalnya pemuja riang kini menjadi pemurung kusut, yang awalnya penuh tawa kini berubah jadi pengagum keluh asa, yang awalnya pelega semua rindu kini jadi pembawa badai gersang kesedihan, yang awalnya lentera penuh harap kini jadi sumber gelap yang mematikan tiap nafas kehidupan. Kau berulang bertanya apa kesalahanmu sendiri, siapa yang salah, bagaimana harusnya, apakah ini nyata, apakah ini cuma permainan semacam kado ulang tahun, apakah ini masih dapat diulangi dari awal, dan mungkin apa yang salah dengan hari ini tanggal 17 februari.

Kau akan tau dan menerima jawaban secara utuh perihal pertanyaanmu yang telah aku bayangkan tiap hening malam sebelumnya. Aku akan menjawab dengan segala keegoisanku, dengan segala kejujuranku, dengan segala keyakinanku, dengan segala ketegaanku dan dengan segala kebenaranku sendiri atau dapat diringkas dengan segala kejahatan sejahatnya aku.

Kesalahanmu adalah kurang mengerti apa-apa yg tidak ingin aku ungkapkan dengan jelas, yang sebenarnya sudah terlalu sering ku ulang dan ulang hingga ku anggap kau paham benar, dan susahnya kau lebih menikmati kepura-puraan bodohmu terlalu. Inginmu selalu aku harus menjadi seorang guru TK yang menjelaskan kata “makan” pada anak berusia 7 tahun agar dia paham betul perihal memasukkan sesendok nasi kedalam mulut itu bisa dikatakan “makan”. Serumit itukah aku harus berusaha memahamimu, dengan selalu memaksa keegoisan waktu. Coba kamu sedikit berpikir sebagai orang sewajarnya jika seandainya kita bertukar posisi, kau kerjakan sedikit saja waktuku dan aku kerjakan semua waktumu. Kau pun tau dan selalu ingat aku orang yang jarang bermain-main dengan ucapan ataupun janji, aku selalu menjadi penawar lelang tertinggi saat kejujuran tergadaikan. Dan aku belum pernah berbohong kepadamu hingga beberapa jam yang lalu sebelum aku mengungkapkan keputusanku. Namun anggapanmu selalu sungguh terlalu, kau anggap aku hanya main-main dengan segala ucapanku dan aku senantiasa berbesar maaf. Dalam hal kesempatan aku sangat acuh, karena kesempatan kedua hanya memberi peluang kesalahan kedua. Kau bertanya tentang sesuaatu yang salah, “apa yang salah dengan hari ini tanggal 17 februari?”. Jika maumu aku harus menjawab pertanyaanmu yang salah, maka akan aku jawab seperlunya. Bukan tentang hari atau tanggal ini yang salah, tapi tentang sikapmu beberapa hari yang telah berkumpul menjadi akhir pekan yang telah berlalu. Mungkin cerita itu sudah sedikit mewakili pertanyaanmu. Sisanya kau tanyakan pada anganmu sendiri.

Atas nama keegoisan, aku menegakan. Atas nama keegoisan, aku tidak akan mengkambinghitamkan untuk menjaga perasaanmu. Atas nama keegoisan, aku ungkapkan harga mati sebuah kejujuran. Atas nama kejujuran, aku rela membiarkanmu lebih pandai dalam bersikap. Sajak untukmu, Melati Senja yang anggun dan tercantik dalam segalamu.

Rabu, 18 Februari 2015

0 perjalanan

hai "shadow"
ia yang selalu menatapmu
mencari lorong ketidaksadaran
mengambil apapun yang ia mau tanpa
kau sadari, tanpa terduga

jika kau cukup jeli
sembunyi pada cahaya
ia tak lelah, menelusuri orang-orang
terdekatmu sampai akhirnya
bertemu wajahmu, rumahmu, keluargamu..
maka jagalah ia dalam bayangan yang kau permainkan
iya "keep silent, safe your self"
aku tinggal di satu titik dalam globe bumi..
tapi sebenarnya aku hidup
dan menjadi bagian dari seluruh kehidupan di alam jagad raya ini
kini, aku hanya mengasingkan diri dengan bekal ketakutan
berharap jadi nama lain, mulut lain, tangan lain,
mata lain, tubuh tanpa identitas.
aku kabur, buram, dan sesegera ingin hilang.
selalu cemas-berharap di sini takkan pernah ada hujan

lelaki ini, dengan segala batas
tetap menjadi kanak-kanak bagimu.
menyebalkan.
tetapi, lelaki ini yang selalu menjadi harapanmu
akan tetap bersembunyi, meringkuk, dan menarik selimut waktu.
berharap mimpi takkan cepat berlalu.

sekali-kali turun dari hampa (angin) ke pijakan tanah.
rindu bau lumut-tropis
rindu semilir-ombak pantai
rindu tirai-basah hujan
rindu menatap cermin-sebagai manusia.
heran diri, tak mengenal siapa dalam cermin..
tapi, rambut dan kumis ini-mengingatkanku pada sosok yg lebih kuat
ya, hal ini telah mengasingkan semesta
dan saya hakikinya manusia

mungkin akhirnya..
sesegera aku terbangun, dengan penuh sesal
dengan tangan gemetar-menekan perlahan tombol penghabisan
sambil terus berdoa,
semoga di tempat ini takkan pernah ada hujan lain seperti waktu itu

mungkin juga akhirnya..
kita hanya lupa terjaga
lelah menghitung waktu,
sementara malam terus mengelupas mimpi juga hati
juga ingatan pada pundak mana (pernah) ditambatkan..
lalu
pada siapa kita akan serahkan (sepotong amnesia)

kita paham, hanya merindu bukanlah kesalahan..
tapi kita tahu, bisu adalah pilihan
entah pada titik mana kita berhenti
entah pada detik mana kita kembali***************[shut down]

0 cerita hujan

sempat bahkan sering hujan menemuiku dalam kelengahan
datang saat detik waktu mencekik
hampir selalu kupaling muka
bahkan mengumpat
atau bahkan benci
hujan memaksaku-diam tak berlelah
memaksaku sedikit membelai kesejukan hawa
memaksaku terjaga dengan semestinya
memaksaku menyesap rokok
dan meneguk kopi dengan tak terburu
dengan malu aku menyukai paksaanmu
aku mau mendengarkan kisahmu (kali ini)
sebentar dan cepat-cepatlah
karena kau segala ketidakpentingan yang membuang waktuku
ia pun berlalu dengan keramahanku (kali ini)
sedikit menit
dengan menitipkan sedikit pesan
pada jejak tanah :


aku (hujan) tak bermaksud membuatmu murung (sekalipun)
aku hanya (sekedar) menyampaikan dingin 
dan tetesan masa lalu,
agar ingatanmu berjalan 
agar hatimu manusia 
dulu (pernah) ada seseorang yang mengantarkan payung 
setabah itu 
seanggun itu 
selembut itu 
yang kini kau taruh ujung ingatanmu 
yang kelak-saat ini hanya tinggal jejak yg makin sunyi 
kau manusia dengan rasa


dalam ucap,
aku masih membenci hujan
hingga aku melupakan ceritamu

Selasa, 17 Februari 2015

0 tersesat


(07.16 am) masih belum ada arah, apalagi jalan, sekeliling masih hutan, tampak hanya pepohonan dan semak2 yg rapat menutup jalan, masih itu2 saja, bosan, menghibur diri sedikit bernyanyi, rokok tinggal 8 batang kusulut satu untuk penyambung nyawa. Cahaya matahari jg tampak redup, masih enggan menyentuh tanah. Sunyi, sedikit takut, saat kupejamkan mata sejenak, terasa lebih tenang, trdengar gemericik aliran air, pelan, smpai kadang tak terdengar. 
(07:52 am) Ditemani beberapa teguk embun semalam dr beberapa kuncup daun, dengan otak dan tenaga yg tinggal seadanya, ku coba melewati semak2 dan pohon yg tumbuh liar tak beraturan, trpleset dan jatuh demi mencapai suara air yg sempat kudengar. Setiap suara itu hilang, aku mencoba hening kembali beberapa saat. iya, kali itu harus lebih sering mendengar. Masih berjalan, krna tak ada ruang untuk berlari. 
(02:16 pm) kusempatkan duduk sejenak, bersandar di pohon, lelah, kucabut sebatang rumput, kugigit ujungnya, menghibur diri dgn sedikit acapela (terlalu lelah untuk bernyanyi). paling tidak hari ini tak sepanik kemarin

to be continue...

cerita itu membuatku lebih sering belajar mendengar daripada berkata, banyak org yg panndai bicara, tp hanya untuk membela & membanggakan diri sendiri, bahkan membunuhpun bisa menjadi benar jika itu dilakukan olehnya.