Memang sulit jika harus diakhiri secepat ini, asal kau tau keputusanku
ini demi kebaikanmu (mungkin juga kebaikan kita). Tapi yang jelas kali
ini bukan dari keegoisan ataupun kemunafikan. Banyak malam tiap hari
hingga menyentuh minggu bahkan bulan untuk mencerna dengan hati-hati dan
mengemas seringkas mungkin buah keputusan ini. Yang ku tau kau nantinya
muram setelah mendengar apa yang sebenarnya berat kuinginkan. Mungkin
kau juga berpura-pura tegar, dengan tertutup senyum kebohongan yang
sudah lama kau pelajari hingga fasih untuk mengelabuhi setiap orang yang
mencoba cemas-prihatin dari keterpurukan yang sebenarnya kau timpa.
Aku
selalu membayangkan keadaanmu setelahnya, setelah aku membuka mulut
tentang semua keputusan angan munafikku. Kau akan pulang dari tempat
biasa kita bertukar angan dan rindu, tempat dimana kita merawat sedikit
ikan hias yang tak pernah bosan kau memandang dan slalu tersenyum
padanya. Kini kau akan pulang ke tempatmu yang dulu, tempat dimana kita
belum bertukar nama dan rasa, duduk di pojok ruang gelap 3x3 dengan
kepala tertunduk, kau menangis dengan ribuan peluh resah kesal, umpatan
dan benci yang mungkin ingin kau tusukkan bersamaan pada sisa bayanganku
yang semakin sunyi. Kau yang awalnya pemuja riang kini menjadi pemurung
kusut, yang awalnya penuh tawa kini berubah jadi pengagum keluh asa,
yang awalnya pelega semua rindu kini jadi pembawa badai gersang
kesedihan, yang awalnya lentera penuh harap kini jadi sumber gelap yang
mematikan tiap nafas kehidupan. Kau berulang bertanya apa kesalahanmu
sendiri, siapa yang salah, bagaimana harusnya, apakah ini nyata, apakah
ini cuma permainan semacam kado ulang tahun, apakah ini masih dapat
diulangi dari awal, dan mungkin apa yang salah dengan hari ini tanggal
17 februari.
Kau akan tau dan menerima
jawaban secara utuh perihal pertanyaanmu yang telah aku bayangkan tiap
hening malam sebelumnya. Aku akan menjawab dengan segala keegoisanku,
dengan segala kejujuranku, dengan segala keyakinanku, dengan segala
ketegaanku dan dengan segala kebenaranku sendiri atau dapat diringkas
dengan segala kejahatan sejahatnya aku.
Kesalahanmu
adalah kurang mengerti apa-apa yg tidak ingin aku ungkapkan dengan
jelas, yang sebenarnya sudah terlalu sering ku ulang dan ulang hingga ku
anggap kau paham benar, dan susahnya kau lebih menikmati kepura-puraan
bodohmu terlalu. Inginmu selalu aku harus menjadi seorang guru TK yang
menjelaskan kata “makan” pada anak berusia 7 tahun agar dia paham betul
perihal memasukkan sesendok nasi kedalam mulut itu bisa dikatakan
“makan”. Serumit itukah aku harus berusaha memahamimu, dengan selalu
memaksa keegoisan waktu. Coba kamu sedikit berpikir sebagai orang
sewajarnya jika seandainya kita bertukar posisi, kau kerjakan sedikit
saja waktuku dan aku kerjakan semua waktumu. Kau pun tau dan selalu
ingat aku orang yang jarang bermain-main dengan ucapan ataupun janji,
aku selalu menjadi penawar lelang tertinggi saat kejujuran tergadaikan.
Dan aku belum pernah berbohong kepadamu hingga beberapa jam yang lalu
sebelum aku mengungkapkan keputusanku. Namun anggapanmu selalu sungguh
terlalu, kau anggap aku hanya main-main dengan segala ucapanku dan aku
senantiasa berbesar maaf. Dalam hal kesempatan aku sangat acuh, karena
kesempatan kedua hanya memberi peluang kesalahan kedua. Kau bertanya
tentang sesuaatu yang salah, “apa yang salah dengan hari ini tanggal 17
februari?”. Jika maumu aku harus menjawab pertanyaanmu yang salah, maka
akan aku jawab seperlunya. Bukan tentang hari atau tanggal ini yang
salah, tapi tentang sikapmu beberapa hari yang telah berkumpul menjadi
akhir pekan yang telah berlalu. Mungkin cerita itu sudah sedikit
mewakili pertanyaanmu. Sisanya kau tanyakan pada anganmu sendiri.
Atas nama keegoisan, aku menegakan. Atas nama keegoisan, aku
tidak akan mengkambinghitamkan untuk menjaga perasaanmu. Atas nama
keegoisan, aku ungkapkan harga mati sebuah kejujuran. Atas nama
kejujuran, aku rela membiarkanmu lebih pandai dalam bersikap. Sajak
untukmu, Melati Senja yang anggun dan tercantik dalam segalamu.